Kamis, 02 Juli 2015

Nabi Musa dan Sang Penggembala

pixabay.com

Nabi Musa a.s. adalah satu-satunya Nabi yang mendapat sebutan kalimullah. Yakni yang diajak berbicara langsung oleh Allah SWT. Nabi Musa a.s. juga sering disebut-sebut sebagai nabi yang sangat cerdas dan kuat secara fisik.

Suatu hari Nabi Musa a.s. sedang berjalan menyusuri lembah di sebuah kaki bukit. Nabi Musa a.s. sedang melakukan perjalanan menuju kota. Tapi tiba-tiba beliau menghentikan langkahnya, karena mendengar seorang pengembala. Orang itu telihat sedang asyik becakap-cakap. Nabi Musa a.s. heran karena orang itu bercakap-cakap sendiri. Tapi, yang membuat Nabi Musa a.s. lebih heran lagi, setelah beliau perhatikan si penggembala terlihat sedang asyik bercakap-cakap dengan seseorang. Tapi siapa orang yang diajak bicara?

“dimanakah Engkau, agar aku bisa menjahitkan pakaian-Mu. Aku dapat menambal kaos kaki-Mu. Aku bisa menyiapkan tempat tidur-Mu. Aku bisa menyemir sepatu-Mu. Dan agar bisa membuatkan susu hangat buat-Mu,” ujar si penggembala.

Nabi Musa a.s. kemudian mendekati orang itu dan bertanya kepadanya, “siapa yang sedang engkau ajak berbicara?”

“Tuhan yang menciptakan kita. Tuhan yang menciptakan bumi dan langit. Tuhan yang menciptakan siang dan malam,“ jawab orang itu. Nabi Musa a.s. terperengah kaget. Beliau konan berang. Lalu beliau serta-merta marah dan berkata dengan suara tinggi, “Berani-beraninya engkau berkata dengan Tuhan seperti itu! Engkau sungguh telah melecehkan Tuhan! Sumpal ucapanmu. Dan jangan sekali-kali engkau berkata seperti itu lagi nanti Tuhan mengutuk semua orang di muka bumi ini karena dosamu.” Demkian kata Nabi Musa a.s.

Mendengar ucapan Nabi Musa a.s. orang itu seperti tersambar geledek. Dia terguncang dan hampir-hampir saja ambruk. Dia benar-benar ketakutan. Dia tidak pernah berpikir kalau ucapan yang tulus dari bagian hatinya yang paling dalam itu adalah sebuah penghinaan.

“Apakah kamu pikir Tuhan itu manusia? Sehingga butuh sepatu, pakaian, dan minum susu serta yang lainnya?”

Laki-laki itu hanya bisa menyangga dirinya sendiri. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Mulutnya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun.

“Tidak! Tuhan itu Maha Sempurna. Dia tidak membutuhkan apa pun!” jelas Nabi Musa a.s.

Laki-laki itu hanya mematung.

Nabi Musa kemudian meneruskan perjalanannya ke kota. Hati Nabi Musa a.s. merasa telah berhasil meluruskan orang yang berbuat salah kepada Allah SWT.

Setelah ditinggal Nabi Musa a.s., laki-laki itu menangis dan memohon ampun kepada Allah SWT. Dia pergi ke sebuah tempat yang sunyi dan terpencil di kaki bukit. Dia menangis dan menangis. Dia begitu menyesali perbuatannya. Perbuatan yang menurutnya lancang.

Setelah beberapa hari melakukan perjalanan dan Nabi Musa a.s. belum tiba di kota, Allah SWT menegur beliau, “Apa yang membuatmu harus mengusik ketenangan-Ku? Engkau telah menyakiti orang yang mencintai dan setia dengan-Ku.”

“Mengapa engkau pisahkan antara pecinta dan Yang Dicinta?”

“Apakah engkau lupa, kalau engkau diutus untuk menyatukan pencinta dan sang Kekasih? Bukan untuk menceraiberaikan!”

“Ingatlah, sesungguhnya orang yang terikat sopan-santun itu sama sekali tidak sama dengan orang yang diikat oleh cinta. Orang yang mencinta tidak mengetahui agama kecuali sang Kekasih itu sendiri,” Allah SWT berpesan.

Nabi Musa a.s. mendengarkan setiap kalam Allah SWT yang bernada teguran itu dengan penuh takzim. Beliau barulah menyadari kesalahannya.

Musa kemudian mencari orang yang ditemui di lembah. Nabi Musa a.s. begitu ketakutan dengan apa yang menimpa orang itu. Nabi Musa a.s mencemaskan kalau-kalau di mati bunuh diri karena perasaan bersalahnya. Nabi Musa a.s. ingin meminta maaf atas kelancangan dirinya dan menyampaikan pesan dari Allah SWT. Dan setelah pencarian yang lama, Nabi Musa a.s. berhasil menemukan orang itu. Ketika beliau mendekati orang itu, nabi Musa a.s. pun memohon maaf kepadanya. Orang itu kemudian menegakkan kepalanya memandangi Nabi Musa a.s.

‘Aku punya pesan penting untuk engkau,” kata Nabi Musa a.s. “Allah SWT telah berpesan kepadaku bahwa engkau bebas untuk berbicara apa saja dengan Tuhan-Mu. Tidak perlu lagi ada sopan santun. Engkau boleh berbicara apa saja dengan cara yang engkau sukai.”

Nabi Musa a.s. kemudian mengambil nafas. Laki-laki itu hanya terdiam.

“Dan aku minta maaf karena kebodohanku. Ternyata apa yang aku kira menghujat itu akidah dan cinta adalah yang dapat menyelamatkan dunia,” lanjut Nabi Musa a.s.

Tapi, Nabi Musa a.s. dibuatnya kaget. Kenapa? Orang itu katanya sudah berjanji kepada dirinya tidak akan berkata-kata apa pun.

“Aku telah lampaui tahap kata-kata dan kalimat. Aku tidak ingin mengatakan apa pun. Hatiku ini sudah tercerahkan. Aku tidak bisa mengatakan apa pun tentang perasaan hatiku ini.”

Nabi Musa a.s. hanya bisa terdiam mendengarkan ucapan orang itu. Orang itu kemudian mengambil langkah dan meninggalkan Nabi Musa a.s. pandangan Nabi Musa a.s. terus mengiringi setiap langkahnya hingga sosok orang itu menghilang. 

Penafsiran

Cerita diatas saya kutip dari Buku Seri Teladan Humor Sufistik, Karya Tasirun Sulaiman, Penerbit Erlangga, 2005.

Yang menarik dari cerita diatas betapa seorang nabi seperti Musa yang senantiasa berdialog dengan Tuhan terkadang bisa keliru memahami Bahasa Hati seorang Pecinta Ilahi, bisa salah mengartikan keakraban seorang yang dimabuk rindu dengan Tuhan.

Kalau lah nabi Musa pernah keliru memaknai bahasa cinta para Pecinta Ilahi, bagaimana dengan orang-orang zaman sekarang yang merasa dirinya alim hanya dengan membaca, bukankah akan lebih sulit lagi memaknai bahasa Para Pecinta? Bukankah lebih banyak lagi makian dan cacian yang terlontar dari mulut mereka kepada Para Pecinta? Bukankah akan lebih mudah lagi bagi mereka untuk menuduh Para Pecinta sebagai pembuatan bid’ah dan memberikan stempel “Aliran Sesat” kepada keyakinan mereka?

Terkadang sering kali kita merasa menjadi pembela agama, sehingga harus membentuk sebuah front untuk mengganyang orang-orang yang berseberangan dengan kita dengan dalih membela kebenaran, membela agama, padahal cuma membela kelompoknya, membela dirinya sendiri. Terkadang juga banyak orang merasa menjadi pembela Tuhan, padahal ketika berniat membela Tuhan secara tidak langsung telah melenyapkan sifat Tuhan yang Maha Perkasa dan Maha Akbar dan mendudukkan Tuhan kepada posisi sebagai pesakitan dan tiada berdaya. Alangkah damainya hidup ini kalau kita lebih banyak mengkoreksi diri sendiri dari pada sibuk mencari-cari kesalahan orang lain. Saya jadi teringat kata-kata bijak dari seorang penyair sufi Hamzah Fanshuri, “KEMBALI-LAH MENJADI DIRI, AGAR LEBIH BERARTI”. Salam Damai Selalu.

Sumber: www.sufimuda.net

Tidak ada komentar: