Senin, 20 Juli 2015

Prahara Kematian

pixabay.com

Pada zaman dahulu kala diceritakan ada seorang guru sufi memiliki enam puluh murid. Karena kedekatannya, sang guru pun hafal benar dengan kamampuan masing-masing muridnya. Pada suatu sore sang guru merasa bahwa saatnya untuk melakukan pengembaraan (safar) sudah tiba bagi murid-muridnya.

Lalu sang guru sufi mengumpulkan semua murid-muridnya. Dia ingin menyampaikan rencananya untuk melakukan tahapan pengembaraan.

“Sekarang saatnya kita harus melakukan pengembaraan jauh. Akan ada sebuah kejadian disepanjang perjalanan yang akan menimpa kita. Aku sendiri tidak tahu, apa itu. Dan kalian aku pikir sudah cukup paham untuk memasuki tahapan –maqam- ini,” demikian urai sang guru sufi, “Tapi ada satu hal yang harus kalian ingat, yakni perkataan ini: ‘Aku harus mati demi sang sufi’. Bersiaplah untuk meneriakkannya pada waktunya nanti. Dan aku akan mengangkat tanganku sebagai tanda,” lanjut sang guru sufi.

Para murid mulai berbisik-bisik satu sama lain. Mereka begitu heran dan khawatir, apa maksud dari perkataan gurunya? Ada kecurigaan menyelimuti mereka.

“Guru tahu bahwa kelak akan terjadi peristiwa tragis, dan dia siap mengorbankan kita semua. Guru tidak ingin mengorbankan dirinya sendiri,” kata seseorang dari mereka.

Salah seorang yang lain mencoba berani berkata: “Guru mungkin membuat rencana jahat. Boleh jadi itu sebuah pembunuhan. Saya tidak akan melakukan syarat yang dikatakannya.”

Namun, akhirnya pengembaraan pun segera dijalankan. Satu demi satu muridnya bergerak. Dan setapak demi setapak pengembaraan terus dijelang.

Setelah berhari-hari melakukan pengembaraan, tibalah sang guru bersama murid-muridnya disebuah kota. Ketika sampai di kota itu, kota selanjutnya sudah dikuasai oleh seorang raja zalim.

Raja kejam dengan pasukannya yang kuat menangkapi semua orang yang masuk ke kota itu. Dan siapa pun harus dipenggal karena dianggap melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri.

Raja kejam itu ketika melihat rombongan sang guru sufi kemudian memerintahkan pasukannya agar menangkap mereka, “Tangkap orang yang lemah lembut itu dan bawa dia untuk diadili di tengah-tengah alun-alun kota. Aku ingin menghukumnya sebagai seorang penjahat”.

Tidak ada kalimat yang terucap, kecuali: “siaa…ap, paduka raja!” Mereka kemudian menangkapi orang-orang yang ada di jalanan. Salah seorang murid guru sufi kemudian tertangkap.

Namun kemudian sang guru sufi mengikuti muridnya yang dibawa oleh tentara itu menuju rajanya. Genderang ditabuh; suasana riuh. Dan orang-orang penduduk kota pun semua berkumpul. Mereka paham kalau genderang yang didengar adalah isyarat kebiadaban dan kematian.

Lalu sang murid itu dilempar ke hadapan sang raja, dan sang raja berkata: “Sebagai contoh, kamu akan saya hukum sebagai seorang penjahat, agar penduduk tahu kalau saya tidak akan membiarkan pemberontakan dan pelarian.”

Namun, tiba-tiba sang guru berteriak dengan suara lantang: “Terimalah hidupku, wahai raja yang mulia, sebagai pengganti hidup pemuda yang tidak bersalah ini! Aku lah yang sebenarnya harus dihukum, karena aku lah yang mengajak dia mengembara!”

Pada waktu yang bersamaan, sang guru sufi itu mengangkat tangan kanannya. Lalu pekik menyahut membahana, seperti yang sudah diajarkan sebelumnya: “Izinkan kami saja yang mati sebagai ganti guru sufi kami itu”

Raja menjadi kaget dan keheranan. Lalu dia berpaling ke arah penasihat dan bertanya: “Orang macam apa mereka? Kenapa mereka berebut kematian? Jika ini yang dimaksud kepahlawanan, apakah ini tidak berarti sedang memprovokasi penduduk untuk melawan aku? Beri tahu aku penasehat, Apa yang harus aku lakukan?” tanya sang raja, dicekam kebingungan.

“Wahai raja, kalau ini dianggap sebagai kepahlawanan, maka kita harus bertindak kejam agar penduduk takut dan hilang keberaniannya! Tapi, saya kira tidak salah kalau saya lebih dahulu bertanya kepada guru mereka,” kata sang penasehat kepada raja.

Dan ketika ditanya, sang guru sufi menjawab: “Baginda yang mulia, telah diramalkan bahwa seorang manusia akan mati hari dan di sini. Orang itu akan mati dan hidup lagi. Lalu dia akan hidup abadi. Makanya aku dan murid-muridku ingin sekali menjadi orang itu.”

Lalu tiba-tiba kerakusan dalam diri sang raja pun berbisik dalam hatinya: “Kenapa harus orang lain yang mendapatkan keabadian? Kenapa aku membiarkan orang lain untuk mendapatkan keabadian itu! Bodoh sekali aku.”

Dan entah bagaimana sejenak kemudian raja memerintahkan pengawalnya agar segera membunuh dirinya untuk menyongsong keabadian itu. Akhirnya raja yang zalim dan rakus akan kekuasaan itu harus mati demi keabadian.

Dikutip dari Buku Seri Teladan Humor Sufistik, Harga Sebuah Loyalitas, Karya Tasirun Sulaiman, Penerbit Erlangga, 2005

Sumber: www.sufimuda.net

Selanjutnya...

Minggu, 12 Juli 2015

Download Ceramah K.H. Zainuddin MZ Tentang Idul Fitri

pixabay.com

Assalamu'alaikum sahabat Hadrial Aat yang baik hati. Apa kabarnya? Semoga selalu semangat dalam menjalani hari-harinya ya. Tenang saja, teruslah berdo'a dan berusaha. Jangan takut gagal ya. Sahabat, pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi ceramah K.H. Zainuddin MZ tentang Idul Fitri, mungkin bisa menemani ibadah puasa para sahabat sekalian dan dapat meningkatkan semangat berpuasanya. Ok?..

Untuk mengunduhnya klik aja di sini. Semangat ya dalam berpuasa dan belajar, menuntut ilmu, semoga puasanya makin berkualitas. Aamiin...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Terus Semangat...!!! Monggo...!!!

Catatan: Disarankan mengunduhnya menggunakan perangkat yang memadai, jika tidak bisa diunduh, berarti ada kesalahan teknis, mohon maaf.

Selanjutnya...

Rabu, 08 Juli 2015

Anekdot Seputar Emas (4)

pixabay.com

Seorang Kyai Fadlun, dari Jawa Timur, seringkali diomelin oleh isterinya (Ibu Nyai), karena begitu banyak menolong ummat melalaui nasehat dan doa. Dan mereka yang ditolong oleh Kyai itu sukses. Biasanya ketika sukses sudah tidak kembali lagi.

“Pak Yai, kenapa orang-orang yang ditolong pada sukses, tapi kehidupan kita cuma begini-begini saja. Apa tidak punya doa atau apalah yang bisa membuat kita jadi sukses lebih hebat lagi, lebih kaya lagi.

Kenapa mesti orang lain teruuus?” protes Ibu Nyai pada sang Kyai.
Rupanya sang Kyai hanya tersenyum belaka.

“Coba kamu ambil gentheng di rumah kita yang ada dekat wuwungan pojok…” kata Kyai itu.

“ Sebelll akh… Masak minta fasilitas lebih malah disuruh naik gentheng. Nanti apa kata tetangga. Ibu Nyai kok naik-naik wuwungan, lagi nyari apaan tuh.…Nggak lucu akh…”

“Sudahlah..Ikuti saja. Katanya kamu mau minta harta emas berlian.”
Ibu Nyai akhirnya nekad naik gentheng. Dengan bersungut-sungut agar tidak dilihat tetangga, nekad juga akhirnya. Begitu ia dapatkan gentheng itu, ia bolak balik, sembari membatin, apa sih istemewanya gentheng tanah ini?
Setelah tuerun membawa gentheng, ia serahkan benda itu ke suaminya, dengan muka masem.

Genteng itu dipegang oleh Pak Kyai, lalu dibungkus kain. Kemudian Kyai itu memberikan kembali ke isterinya, agar dibuka. Ternyata begitu terjeutnya sang Bu Nyai, gentheng tanah tadi berubah jadi emas semua.

Ibu Nyai kaget bukan main. Dengan muka pucat ia tak bias bicara.

“Kamu pilih mana, nikmat-nikmat Allah disegerakan di dunia, atau nanti di akhirat?”
Ibu Nyai menyadari kesalahannya, dan menangis memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Seketika gentheng emas tadi berubah jadi gentheng tanah. Sejak saat itu, ia kapok protes pada suaminya.

Sumber: sufinews.com, www.sufimuda.net

Catatan:
Anekdot ialah cerita singkat yg menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. (Sumber: klik di sini)

Selanjutnya...

Anekdot Seputar Emas (3)

pixabay.com

Seorang ustadz di pesantren sedang menjelaskan tentang pandangan beberapa mazhab fiqih mengenai perhiasan emas yang dipakai oleh lelaki muslim.
“Menurut Imam Syafi’i seorang laki-laki muslim haram hukumnya memakai perhiasan emas. Namun boleh menurut Imam Maliki….”

Diskusi jadi panjang, ketika muncul pertanyaan bagaimana menurut mazhab syafi’i, lelaki yang menggunakan batu permata seperti berlian yang harganya lebih mahal dari emas, atau menggunakan batu zamrud yang nilainya ratusan juta? Apakah halal atau haram?

Sang Ustadz memberi argumen ngalor ngidul, yang dinilai cukup masuk akal.
Tiba-tiba, seorang gadis dalam arena itu penasaran bertanya?
“Kenapa sih Pak Ustadz, laki-laki tidak boleh menggunakan perhiasan emas, sedangkan kami boleh? Apakah Allah membuat perbedaan gender dalam kasus ini?”
“Ya, memang.…Tapi karena kaum lelaki sudah dipanggil Mas…Mas…Maaaaasss…untuk apa pakai emas segala?”

He he he…Nggak lucu ah!

Sumber: sufinews.com, www.sufimuda.net

Catatan:
Anekdot ialah cerita singkat yg menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. (Sumber: klik di sini)

Selanjutnya...

Anekdot Seputar Emas (2)

pixabay.com

Ada seorang ahli khalwat di daerah Madura yang luar bisaa. Konon hanya 35 hari sekali keluar. Orang aneh ini, menurut penduduk di sana, pusarnya banyak sekali mengelilingi perutnya.

Yang menjadi masalah, banyak orang menunggu kapan orang tersebut keluar dari tempat khalwatnya. Bukannya orang-orang itu mohon didoakan, tetapi menunggu kapan sosok aneh ini membuang air besar.

Kadang penduduk sekitar sana, melihat kadang-kadang tidak melihat. Kadang sosok aneh ini buang air besar kadang tidak.

Ketika buang air besar mereka berebut mengambil tinjanya. Lho?
Sebab setiap yang keluar dari perutnya itu, bukan berupa tinja kuning seperti layaknya kebanyakan orang. Tetapi yang keluar adalah warna kuning emas, dan kenyataannya adalah emas.

Rupanya orang aneh ini pandai dan arif mendidik masyarakat sekitarnya melalui tinja. Bahwa sehebat-hebat harta dunia yang dilambangkan dengan emas, ternyata nilainya tak lebih dari tinja manusia. Wuiih!

Sumber: sufinews.com, www.sufimuda.net

Catatan:
Anekdot ialah cerita singkat yg menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. (Sumber: klik di sini)

Selanjutnya...

Anekdot Seputar Emas (1)

pixabay.com

Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzili adalah seorang Sufi agung sekaligus ahli ilmu kimia. Suatu hari beliau memohon kepada Allah swt, agar diberi petunjuk bagaimana besi bisa jadi emas.

Akhirnya mendapatkan Ilham dari Allah, agar membakar besi itu, dan setelah itu dikencingi.

Benar, apa yang terjadi, akhirnya besi itu berubah jadi emas. Tidak jelas, kenapa harus dikencingi dan apa kandungan kencing. Apa hubungan air kecing dengan benda-benda besi dan emas?

Akhirnya Syeikh Abul Hasan bermohon kepada Allah. “Ya Allah kenapa proses ini harus melalui najis?”

Lalu dijawab oleh Allah, swt, “Sesuatu yang kotor, prosesnya lewat jalan yang kotor pula…”.

Akhirnya emas itu dikencingi lagi, dan berubah jadi besi sebagaimana semua.
Emas adalah lambang kemewahan dan harta dunia. Dan dunia itu kotor, maka dilambangkan pula dengan proses najis secara kimiawi.

Sumber: sufinews.com, www.sufimuda.net

Catatan:
Anekdot ialah cerita singkat yg menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. (Sumber: klik di sini)

Selanjutnya...

Download Ceramah K.H. Zainuddin MZ Tentang Zakat, Infaq dan Sedekah

pixabay.com

Assalamu'alaikum sahabat Hadrial Aat yang baik hati. Apa kabarnya? Semoga selalu semangat dalam menjalani hari-harinya ya. Tenang saja, teruslah berdo'a dan berusaha. Jangan takut gagal ya. Sahabat, pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi ceramah K.H. Zainuddin MZ tentang Zakat, Infaq dan Sedekah, mungkin bisa menemani ibadah puasa para sahabat sekalian dan dapat meningkatkan semangat berpuasanya di hari-hari akhir bulan Ramadhan ini.

Untuk mengunduhnya klik aja di sini. Semangat ya dalam berpuasa dan belajar, menuntut ilmu, semoga puasanya makin berkualitas. Aamiin...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Terus Semangat...!!! Monggo...!!!

Catatan: Disarankan mengunduhnya menggunakan perangkat yang memadai, jika tidak bisa diunduh, berarti ada kesalahan teknis, mohon maaf.

Selanjutnya...

Selasa, 07 Juli 2015

Download Ceramah K.H. Zainuddin MZ Tentang Ramadhan Bulan Muhasabah yang Penuh Berkah dan Ampunan

pixabay.com

Assalamu'alaikum sahabat Hadrial Aat yang baik hati. Apa kabarnya? Semoga selalu semangat dalam menjalani hari-harinya ya. Tenang saja, teruslah berdo'a dan berusaha. Jangan takut gagal ya. Sahabat, pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi ceramah K.H. Zainuddin MZ tentang Ramadhan Bulan Muhasabah yang Penuh Berkah dan Ampunan, mungkin bisa menemani ibadah dan dapat meningkatkan semangat berpuasanya. Ok?..

Untuk mengunduhnya klik aja di sini. Semangat ya dalam berpuasa dan belajar, menuntut ilmu, semoga puasanya makin berkualitas. Aamiin...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Terus Semangat...!!! Monggo...!!!

Catatan: Disarankan mengunduhnya menggunakan perangkat yang memadai, jika tidak bisa diunduh, berarti ada kesalahan teknis, mohon maaf.

Selanjutnya...

Minggu, 05 Juli 2015

Tersesat di Surga

pixabay.com

Seorang pemuda, ahli amal ibadah datang ke seorang Sufi. Sang pemuda dengan bangganya mengatakan kalau dirinya sudah melakukan amal ibadah wajib, sunnah, baca Al-Qur’an, berkorban untuk orang lain dan kelak harapan satu satunya adalah masuk syurga dengan tumpukan amalnya.
Bahkan sang pemuda tadi malah punya catatan amal baiknya selama ini dalam buku hariannya, dari hari ke hari.
“Saya kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…”
“Apa yang sudah anda lakukan?”
“Amal ibadah bekal bagi syurga saya nanti…”
“Kapan anda menciptakan amal ibadah, kok anda merasa punya?”
Pemuda itu diam…lalu berkata,
“Bukankah semua itu hasil jerih payah saya sesuai dengan perintah dan larangan Allah?”

“Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?”
“Saya sendiri…hmmm….”
“Jadi kamu mau masuk syurga sendiri dengan amal-amalmu itu?”
“Jelas dong tuan…”
“Saya nggak jamin kamu bisa masuk ke syurga. Kalau toh masuk kamu malah akan tersesat disana…”
Pemuda itu terkejut bukan main atas ungkapan Sang Sufi. Pemuda itu antara marah dan diam, ingin sekali menampar muka sang sufi.
“Mana mungkin di syurga ada yang tersesat. Jangan-jangan tuan ini ikut aliran sesat…” kata pemuda itu menuding Sang Sufi.
“Kamu benar. Tapi sesat bagi syetan, petunjuk bagi saya….”
“Toloong diperjelas…”

“Begini saja, seluruh amalmu itu seandainya ditolak oleh Allah bagaimana?”
“Lho kenapa?”
“Siapa tahu anda tidak ikhlas dalam menjalankan amal anda?”
“Saya ikhlas kok, sungguh ikhlas. Bahkan setiap keikhlasan saya masih saya ingat semua…”
“Nah, mana mungkin ada orang yang ikhlas, kalau masih mengingat-ingat amal baiknya? Mana mungkin anda ikhlas kalau anda masih mengandalkan amal ibadah anda?
Mana mungkin anda ikhlas kalau anda sudah merasa puas dengan amal anda sekarang ini?”

Pemuda itu duduk lunglai seperti mengalami anti klimaks, pikirannya melayang membayang bagaimana soal tersesat di syurga, soal amal yang tidak diterima, soal ikhlas dan tidak ikhlas.
Dalam kondisi setengah frustrasi, Sang sufi menepuk pundaknya.
“Hai anak muda. Jangan kecewa, jangan putus asa. Kamu cukup istighfar saja. Kalau kamu berambisi masuk syurga itu baik pula. Tapi, kalau kamu tidak bertemu dengan Sang Tuan Pemilik dan Pencipta syurga bagaimana? Kan sama dengan orang masuk rumah orang, lalu anda tidak berjumpa dengan tuan rumah, apakah anda seperti orang linglung atau orang yang bahagia?”
“Saya harus bagaimana tuan…”

“Mulailah menuju Sang Pencipta syurga, maka seluruh nikmatnya akan diberikan kepadamu. Amalmu bukan tiket ke syurga. Tapi ikhlasmu dalam beramal merupakan wadah bagi ridlo dan rahmat-Nya, yang menarik dirimu masuk ke dalamnya…”
Pemuda itu semakin bengong antara tahu dan tidak.
“Begini saja, anak muda. Mana mungkin syurga tanpa Allah, mana mungkin neraka bersama Allah?”
Pemuda itu tetap saja bengong. Mulutnya melongo seperti kerbau.

Sumber: www.sufimuda.net

Selanjutnya...

Hilang

pixabay.com

dalam masa
kita terus bercerita
menemukan diri
yang terhempas cita
sebahagian merana
sebahagian lagi bahagia
dan aku tak tahu
aku ini siapa...

Selanjutnya...

Sabtu, 04 Juli 2015

Di Zawiyah Sebuah Mesjid

pixabay.com


Oleh : Emha Ainun Nadjib

Sesudah shalat malam bersama, beberapa santri yang besok pagi diperkenankan pulang kembali ke tengah masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak Kiai di zawiyyah sebuah masjid.

Seperti biasanya, Pak Kiai bukannya hendak memberi bekal terakhir, melainkan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan khusus, yang sebisa mungkin belum usah terdengar dulu oleh para santri lain yang masih belajar di pesantren.

“Agar manusia di muka bumi ini memiliki alat dan cara untuk selamat kembali ke Tuhannya,” berkata Pak Kiai kepada santri pertama, “apa yang Allah berikan kepada manusia selain alam dan diri manusia sendiri?”

“Agama,” jawab santri pertama.

“Berapa jumlahnya?”

“Satu.”

“Tidak dua atau tiga?”

“Allah tak pernah menyebut agama atau nama agama selain yang satu itu, sebab memang mustahil dan mubazir bagi Allah yang tunggal untuk memberikan lebih dari satu macam tuntunan.”

**

Kepada santri kedua Pak Kiai bertanya, “Apa nama agama yang dimaksudkan oleh temanmu itu?”

“Islam.”

“Sejak kapan Allah mengajarkan Islam kepada manusia?”

“Sejak Ia mengajari Adam nama benda-benda.”

“Kenapa kau katakan demikian?”

“Sebab Islam berlaku sejak awal mula sejarah manusia dituntun. Allah sangat adil. Setiap manusia yang lahir di dunia, sejak Adam hingga akhir zaman, disediakan baginya sinar Islam.”

“Kalau demikian, seorang Muslimkah Adam?”

“Benar, Kiai. Adam adalah Muslim pertama dalam sejarah umat manusia.”

**

Pak Kiai beralih kepada santri ketiga. “Allah mengajari Adam nama benda-benda,” katanya, “bahasa apa yang digunakan?”

Dijawab oleh santri ketiga, “Bahasa sumber yang kemudian dikenal sebagai bahasa Al-Qur’an.”

“Bagaimana membuktikan hal itu?”

“Para sejarahwan bahasa dan para ilmuwan lain harus bekerja sama untuk membuktikannya. Tapi besar kemungkinan mereka takkan punya metode ilmiah, juga tak akan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. Manusia telah diseret oleh perjalanan waktu yang sampai amat jauh sehingga dalam kebanyakan hal mereka buta sama sekali terhadap masa silam.”

“Lantas bagaimana mengatasi kebuntuan itu?”

“Pertama dengan keyakinan iman. Kedua dengan kepercayaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam kehendak Allah.”

“Maksudmu, Nak?”

“Allah memerintahkan manusia bersembahyang dalam bahasa Al-Qur’an. Oleh karena sifat Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, berlaku universal secara ruang maupun waktu, maka tentulah itu petunjuk bahwa bahasa yang kita gunakan untuk shalat adalah bahasa yang memang relevan terhadap seluruh bangsa manusia. Misalnya, karena memang bahasa Al-Qur’anlah yang merupakan akar, sekaligus puncak dari semua bahasa yang ada di muka bumi.”

**

“Temanmu tadi mengatakan,” berkata Pak Kiai selanjutnya kepada santri keempat, “bahwa Allah hanya menurunkan satu agama. Bagaimana engkau menjelaskan hal itu?”

“Agama Islam dihadirkan sebagaimana bayi dilahirkan,” jawab santri keempat, “Tidak langsung dewasa, tua atau matang, melainkan melalui tahap-tahap atau proses pertumbuhan.”

“Apa jawabmu terhadap pertanyaan tentang adanya berbagai agama selain Islam?”

“Itu anggapan kebudayaan atau anggapan politik bukan anggapan akidah.”

“Apakah itu berarti engkau tak mengakui eksistensi agama-agama lain?”

“Aku mengakui nilai-nilai yang termuat dalam yang disebut agama-agama itu –sebelum dimanipulasikan– sebab nilai-nilai itu adalah Islam jua adanya pada tahap tertentu, yakni sebelum disempurnakan oleh Allah melalui Muhammad rasul pamungkasNya. Bahwa kemudian berita-berita Islam sebelum Muhammad itu dilembagakan menjadi sesuatu yang disebut agama –dengan, ternyata, berbagai penyesuaian, penambahan atau pengurangan– sebenarnya yang terjadi adalah pengorganisasian. Itu bukan agama Allah, melainkan rekayasa manusia.”

**

Pak Kiai menatapkan matanya tajam-tajam ke wajah santri kelima sambil bertanya, “Agama apakah yang dipeluk oleh orang-orang beriman sebelum Muhammad?”

“Islam, Kiai.”

“Apa agama Ibrahim?”

“Islam.”

“Apa agama Musa?”

“Islam.”

“Dan agama Isa?”

“Islam.”

“Sudah bernama Islamkah ketika itu?”

“Tidak mungkin, demikian kemauan Allah, ada nama atau kata selain Islam yang sanggup mewakili kandungan-kandungan nilai petunjuk Allah. Islam dan kandungannya tak bisa dipisahkan, sebagaimana api dengan panas atau es dengan dingin. Karena ia Islam, maka demikianlah kandungan nilainya. Karena demikian kandungan nilainya, maka Islamlah namanya. Itu berlaku baik tatkala pengetahuan manusia telah mengenal Islam atau belum.”

**

“Maka apakah gerangan arti yang paling inti dari Islam?” Pak Kiai langsung menggeser pertanyaan kepada santri keenam.

“Membebaskan,” jawab santri itu.

“Pakailah kata yang lebih memuat kelembutan!”

“Menyelematkan, Kiai.”

“Siapa yang menyelamatkan, siapa yang diselamatkan, serta dari apa dan menuju apa proses penyelamatan atau pembebasan itu dilakukan?”

“Allah menyelamatkan manusia, diaparati oleh para khulafa’ atas bimbingan para awliya dan anbiya. Adapun sumber dan tujuannya ialah membebaskan manusia dari kemungkinan tak selamat kembali ke Allah. Manusia berasal dari Allah dan sepenuhnya milik Allah, sehingga Islam –sistem nilai hasil karya Allah yang dahsyat itu– dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari cengkeraman sesuatu yang bukan Allah.”

“Apa sebab agama anugerah Allah itu tak bernama Salam, misalnya?”

“Salam ialah keselamatan atau kebebasan. Itu kata benda. Sesuatu yang sudah jadi dan tertentu. Sedangkan Islam itu kata kerja. Berislam ialah beramal, berupaya, merekayasa segala sesuatu dalam kehidupan ini agar membawa manusia kepada keselamatan di sisi Allah.”

**

Pak Kiai menuding santri ketujuh, “Tidakkah Islam bermakna kepasrahan?”

“Benar, Kiai,” jawabnya, “Islam ialah memasrahkan diri kepada kehendak Allah. Arti memasrahkan diri kepada kehendak Allah ialah memerangi segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak Allah.”

“Bagaimana manusia mengerti ini kehendak Allah atau bukan?”

“Dengan memedomani ayat-ayatNya, baik yang berupa kalimat-kalimat suci maupun yang terdapat dalam diri manusia, di alam semesta, maupun di setiap gejala kehidupan dan sejarah. Oleh karena itu Islam adalah tawaran pencarian yang tak ada hentinya.”

“Kenapa sangat banyak orang yang salah mengartikan makna pasrah?”

“Karena manusia cenderung malas mengembangkan pengetahuan tentang kehendak Allah. Bahkan manusia makin tidak peka terhadap tanda-tanda kehadiran Allah di dalam kehidupan mereka. Bahkan tak sedikit di antara orang-orang yang rajin bersembahyang, sebenarnya tidak makin tinggi pengenalan mereka terhadap kehendak Allah. Mereka makin terasing dari situasi karib dengan kemesraan Allah. Hasilnya adalah keterasingan dari diri mereka sendiri. Tetapi alhamdulillah, situasi terasing dan buntu yang terjadi pada peradaban mutakhir manusia, justru merupakan awal dari proses masuknya umat manusia perlahan-lahan ke dalam cahaya Islam. Sebab di dalam kegelapanlah manusia menjadi mengerti makna cahaya.”

**

“Cahaya Islam. Apa itu gerangan?”

Santri ke delapan menjawab, “Pertama-tama ialah ilmu pengeahuan. Adam diajari nama benda-benda. Itulah awal mula pendidikan kecendekiaan, yang kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama Allah kepada Muhammad, yakni iqra’. Itulah cahaya Islam, sebab agama itu dianugerahkan kepada makhluk tertinggi yang berpikiran dan berakal budi yang bernama manusia.”

“Pemikiranmu lumayan,” sahut Pak Kiai, “Cahaya Islam tentunya tak dapat dihitung jumlahnya serta tak dapat diukur keluasan dan ketinggiannya: kita memerlukan tinta yang ditimba dari tujuh lautan lebih untuk itu. Bersediakah engkau kutanyai barang satu dua di antara kilatan-kilatan cahaya mahacahaya itu?”

“Ya, Kiai.”

“Sesudah engkau sebut Adam, apa yang kau peroleh dari Idris?”

“Dinihari rekayasa teknologi.”

“Dari Nuh?”

“Keingkaran terhadap ilmu dan kewenangan Allah.”

“Hud?”

“Kebangunan kembali menuju salah satu puncak peradaban dan teknologi canggih.”

“Baik. Tak akan kubawa kau berhenti di setiap terminal. Tetapi jawablah: pada Ibrahim, terminal Islam apakah yang engkau temui?”

“Rekonstruksi tauhid, melalui metode penelitian yang lebih memeras pikiran dan pengalaman secara lebih detil.”

“Pada Ismail?”

“Pengurbanan dan keikhlasan.”

“Ayyub?”

“Ketahanan dan kesabaran.”

“Dawud?”

“Tangis, perjuangan dan keberanian.”

“Sulaiman?”

“Ke-waskita-an, kemenangan terhadap kemegahan benda, kesetiaan ekologis dan keadilan.”

“Sekarang sebutkan yang engkau peroleh dari Musa!”

“Keteguhan, ketegasan haq, ilmu perjuangan politik, tapi juga kedunguan dalam kepandaian.”

“Dari Zakaria?”

“Dzikir.”

“Isa?”

“Kelembutan cinta kasih, alam getaran hub.”

“Adapun dari Muhammad, anakku?”

“Kematangan, kesempurnaan, ilmu manajemen dari semua unsur cahaya yang dibawa oleh para perutusan Allah sebelumnya.”

**

Akhirnya tiba kepada santri kesembilan. “Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan dewasa ini?”

“Tak menentu, Kiai,” jawab sanri terakhir itu, “Terkadang, atau bahkan amat sering, kami adalah Adam yang sembrono dan nekad makan buah khuldi. Di saat lain kami adalah Ayyub –tetapi– yang kalah oleh sakit berkepanjangan dan putus asa oleh perolehan yang amat sedikit. Sebagian kami memperoleh jabatan seperti Yusuf tapi tak kami sertakan keadilan dan kebijakannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam sumur tanpa ada yang mengambilnya. Ada juga golongan dari kami yang telah dengan gagahnya membawa kapak bagai Ibrahim, tapi sebelum tiba di gudang berhala, malah berbelok mengerjakan sawah-sawah Fir’aun atau membelah kayu-kayu untuk pembangunan istana diktator itu.”

Pak Kiai tersenyum, dan santri itu meneruskan, “Mungkin itu yang menyebabkan seringkali kami tersembelih bagai Ismail, tapi tak ada kambing yang menggantikan ketersembelihan kami.”

“Maka sebagian dari kami lari bagai Yunus: seekor ikan paus raksasa menelan kami, dan sampai hari ini kami masih belum selesai mendiskusikan dan menseminarkan bagaimana cara keluar dari perut ikan.”

Pak Kiai tertawa terkekeh-kekeh.

“Kami belajar pidato seperti Harun, sebab dewasa ini berlangsung apa yang disebut abad informasi. Tetapi isi pidato kami seharusnya diucapkan 15 abad yang lalu, padahal Musa-Musa kami hari ini tidaklah sanggup membelah samudera.”

“Anakku,” Pak Kiai menyela, “pernyataan-pernyataanmu penuh rasa sedih dan juga semacam rasa putus asa.”

“Insyaallah tidak, Kiai,” jawab sang santri, “Cara yang terbaik untuk menjadi kuat ialah menyadari kelemahan. Cara yang terbaik untuk bisa maju ialah memahami kemunduran. Sebodoh-bodoh kami, sebenarnya telah pula berupaya membuat tali berpeluru Dawud untuk menyiapkan diri melawan Jalut. Tongkat Musa kami pun telah perlahan-lahan kami rekayasa, agar kelak memiliki kemampuan untuk kami lemparkan ke halaman istana Fir’aun dan menelan semua ular-ular sihir yang melata-lata. Kami juga mulai berguru kepada Sulaiman si raja agung pemelihara ekosistem. Seperti Musa kami juga belajar berendah hati kepada ufuk ilmu Khidhir. Dan berzikir. Bagai Zakaria, kami memperpeka kehidupan kami agar memperoleh kelembutan yang karib dengan ilmu dan kekuatan Allah. Terkadang kami khilaf mengambil hanya salah satu watak Isa, yakni yang tampak sebagai kelembekan. Tetapi kami telah makin mengerti bagaimana berguru kepada keutuhan Muhammad, mengelola perimbangan unsur-unsur, terutama antara cinta dengan kebenaran. Sebab tanpa cinta, kebenaran menjadi kaku dan otoriter. Sedangkan tanpa kebenaran, cinta menjadi hanya kelemahan, keterseretan, terjebak dalam kekufuran yang samar, hanyut dan tidak berjuang.”

**

Betapa tak terbatas apabila perbincangan itu diteruskan jika tujuannya adalah hendak menguak rahasia cahaya Islam.

“Sampai tahap ini,” kata Pak Kiai, “cukuplah itu bagi kalian, sesudah dua pertanyaan berikut ini kalian jawab.”

“Kami berusaha, Kiai,” jawab mereka.

“Bagaimana kalian menghubungkan keyakinan kalian itu dengan keadaan masyarakat dan negeri di mana kalian bertempat tinggal?”

“Kebenaran berlaku hanya apabila diletakkan pada maqam yang juga benar. Juga setiap kata dan gerak perjuangan,” berkata salah seorang.

“Sebaik-baik urusan ialah di tengah-tengahnya, kata Rasul Agung. Harus pas. Tak lebih tak kurang,” sambung lainnya.

“Muhammad juga mengajarkan kapan masuk Gua Hira, kapan terjun ke tengah masyarakat,” sambung yang lain lagi.

“Mencari titik koordinat yang paling tepat pada persilangan ruang dan waktu, atau pada lalu lintas situasi dan peta sejarah.”

“Ada dakwah rahasia, ada dakwah terang-terangan.”

“Hikmah, maw’idhah hasanah, jadilhum billati hiya ahsan.”

“Makan hanya ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang. Itulah irama. Itulah sesehat-sehat kesehatan, yang berlaku bagi tubuh maupun proses sejarah.”

“Perjuangan ialah mengetahui kapan berhijrah ke Madinah dan kapan kembali ke Makkah untuk kemenangan.”

“Dan di atas semua itu, Rasulullah Muhammad bersedia tidur beralaskan daun kurma atau bahkan di atas lantai tanah.”

Pak Kiai tersenyum, “Apa titik tengah di antara kutub kaku dan kutub lembek, anak-anakku?”

“Lentur, Kiai!” kesembilan santri itu menjawab serentak, karena kalimat itulah memang yang hampir setiap hari mereka dengarkan dari mulut Pak Kiai sejak hari pertama mereka datang ke pesantren itu.

“Fal-yatalaththaf!” ucap Pak Kiai akhirnya sambil berdiri dan menyalami santri-santrinya satu per satu, “titik pusat Al-Qur’an!”

1987 Emha Ainun Nadjib

Sumber : Pustaka Online Media ISNETwww.sufimuda.net

Selanjutnya...

Download Ceramah K.H. Zainuddin MZ Tentang Lailatul Qadar dan Kurikulum Ramadhan

pixabay.com

Assalamu'alaikum sahabat Hadrial Aat yang baik hati. Apa kabarnya? Semoga selalu semangat dalam menjalani hari-harinya ya. Tenang saja, teruslah berdo'a dan berusaha. Jangan takut gagal ya.  Sahabat, pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi ceramah K.H. Zainuddin MZ tentang Lailatul Qadar dan Kurikulum Ramadhan, mungkin bisa menemani ibadah puasa para sahabat sekalian terutama menjelang minggu-minggu akhir bulan Ramadhan ini.

Untuk mengunduhnya klik aja di sini. Semangat ya dalam berpuasa dan belajar, menuntut ilmu, semoga puasanya makin berkualitas. Aamiin...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Terus Semangat...!!! Monggo...!!!

Catatan: Disarankan mengunduhnya menggunakan perangkat yang memadai, jika tidak bisa diunduh, berarti ada kesalahan teknis, mohon maaf.

Selanjutnya...

Cara Membuka Casing Smartphone Android

Assalamu'alaikum sahabat Hadrial Aat, apa kabarnya di puasa hari ke 17 ini ya kalau gak salah. Gimana puasanya? Lancar kan? Udah ada yang tinggal atau batal belum? Kalau udah jangan lupa diganti ya. Semoga amal ibadah kita diridhai Allah SWT ya para sahabat.

Emmm... Pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi tips sederhana. Mungkin para sahabat sudah tau. Saya hanya membagikannya agar bisa dibaca bagi yang lain. Pada kesempatan kali ini saya ingin membagikan tips membuka casing/tutup hp ataupun smartphone android. Mungkin smartphonenya akan dibersihkan, ganti kartu, atau ganti baterai dan lain-lain.

Dalam ulasan saya kali ini yang menjadi barang contoh ialah smartphone merk Advan S5E. Berikut caranya!


hadrial.blogspot.com

Perhatikan di sekitaran smartphone merk Advan S5E, coba lihat di dekat tombol sebelah kanan ada lubang kecil, persis di dekat tombol untuk menghidupkan smartphone tersebut. Nah caranya sangat mudah. Masukkan kuku jempol kanan kita ke dalam lubang kecil tersebut. Kemudian tarik saja perlahan, sambil jari/kuku lain membantu menggeser bagian belakang dari tutup atau pun casing tersebut.

hadrial.blogspot.com

Tarik dan geser terus hingga lepas semua bagian belakang dari casing tersebut. Ingat, hati-hati ya, jangan sampai patah atau pun pecah. Patah atau pecah casingnya, tanggung jawab sendiri ha ha ha

hadrial.blogspot.com

Begitulah caranya para sahabat, mudah kan... Mohon maaf ya jika ada kesalahan dan kekurangan di sana-sini. Jika ada yang ingin menambahkan, silahkan sampaikan saja di kolom komentar. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Makin semangat ya...!!!

Selanjutnya...

Kamis, 02 Juli 2015

Bayazid dan Orang yang Memikirkan Diri Sendiri

pixabay.com

Pada suatu hari, seseorang mengomel kepada Bayazid, seorang ahli mistik pada abad kesembilan, mengatakan bahwa ia telah berpuasa dan berdoa dan berbuat segalanya selama tiga puluh tahun namun tidak juga menemukan kesenangan seperti yang digambarkan Bayazid. Bayazid menjawab, orang itu bisa saja melanjutkan perbuatannya tiga ratus tahun lagi tanpa mendapatkan kesenangan juga.

“Mengapa begitu?” tanya Si Sok-Saleh.

“Sebab kesombonganmu merupakan halangan utama bagimu.”

“Coba katakan apa obatnya.”

“Obatnya tak akan bisa kau laksanakan.”

“Bagaimanapun, katakan sajalah.”

Bayazid pun berkata, “Kau harus pergi ke tukang pangkas rambut untuk mencukur janggutmu, (yang terhormat, itu). Lepaskan semua pakaianmu dan kenakan korset. Isi sebuah kantong kuda dengan kenari sampai penuh, lalu gantungkan di lehermu. Pergilah ke pasar dan berteriaklah, akan kuberikan sebutir kenari kepada setiap anak yang memukul tengkukku. Kemudian lanjutkan perjalananmu ke sidang pengadilan agar semua orang menyaksikanmu.”

“Tetapi aku tak bisa melakukan itu; coba katakan cara lain yang sama manfaatnya.”

“Itu langkah pertama, dan satu-satunya cara,” kata Bayazid, “Tetapi sudah aku katakan kepadamu bahwa kau tak akan bisa melakukannya; jadi tak ada obat bagimu.”

Sumber: www.sufimuda.net

Selanjutnya...

Nabi Musa dan Sang Penggembala

pixabay.com

Nabi Musa a.s. adalah satu-satunya Nabi yang mendapat sebutan kalimullah. Yakni yang diajak berbicara langsung oleh Allah SWT. Nabi Musa a.s. juga sering disebut-sebut sebagai nabi yang sangat cerdas dan kuat secara fisik.

Suatu hari Nabi Musa a.s. sedang berjalan menyusuri lembah di sebuah kaki bukit. Nabi Musa a.s. sedang melakukan perjalanan menuju kota. Tapi tiba-tiba beliau menghentikan langkahnya, karena mendengar seorang pengembala. Orang itu telihat sedang asyik becakap-cakap. Nabi Musa a.s. heran karena orang itu bercakap-cakap sendiri. Tapi, yang membuat Nabi Musa a.s. lebih heran lagi, setelah beliau perhatikan si penggembala terlihat sedang asyik bercakap-cakap dengan seseorang. Tapi siapa orang yang diajak bicara?

“dimanakah Engkau, agar aku bisa menjahitkan pakaian-Mu. Aku dapat menambal kaos kaki-Mu. Aku bisa menyiapkan tempat tidur-Mu. Aku bisa menyemir sepatu-Mu. Dan agar bisa membuatkan susu hangat buat-Mu,” ujar si penggembala.

Nabi Musa a.s. kemudian mendekati orang itu dan bertanya kepadanya, “siapa yang sedang engkau ajak berbicara?”

“Tuhan yang menciptakan kita. Tuhan yang menciptakan bumi dan langit. Tuhan yang menciptakan siang dan malam,“ jawab orang itu. Nabi Musa a.s. terperengah kaget. Beliau konan berang. Lalu beliau serta-merta marah dan berkata dengan suara tinggi, “Berani-beraninya engkau berkata dengan Tuhan seperti itu! Engkau sungguh telah melecehkan Tuhan! Sumpal ucapanmu. Dan jangan sekali-kali engkau berkata seperti itu lagi nanti Tuhan mengutuk semua orang di muka bumi ini karena dosamu.” Demkian kata Nabi Musa a.s.

Mendengar ucapan Nabi Musa a.s. orang itu seperti tersambar geledek. Dia terguncang dan hampir-hampir saja ambruk. Dia benar-benar ketakutan. Dia tidak pernah berpikir kalau ucapan yang tulus dari bagian hatinya yang paling dalam itu adalah sebuah penghinaan.

“Apakah kamu pikir Tuhan itu manusia? Sehingga butuh sepatu, pakaian, dan minum susu serta yang lainnya?”

Laki-laki itu hanya bisa menyangga dirinya sendiri. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Mulutnya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun.

“Tidak! Tuhan itu Maha Sempurna. Dia tidak membutuhkan apa pun!” jelas Nabi Musa a.s.

Laki-laki itu hanya mematung.

Nabi Musa kemudian meneruskan perjalanannya ke kota. Hati Nabi Musa a.s. merasa telah berhasil meluruskan orang yang berbuat salah kepada Allah SWT.

Setelah ditinggal Nabi Musa a.s., laki-laki itu menangis dan memohon ampun kepada Allah SWT. Dia pergi ke sebuah tempat yang sunyi dan terpencil di kaki bukit. Dia menangis dan menangis. Dia begitu menyesali perbuatannya. Perbuatan yang menurutnya lancang.

Setelah beberapa hari melakukan perjalanan dan Nabi Musa a.s. belum tiba di kota, Allah SWT menegur beliau, “Apa yang membuatmu harus mengusik ketenangan-Ku? Engkau telah menyakiti orang yang mencintai dan setia dengan-Ku.”

“Mengapa engkau pisahkan antara pecinta dan Yang Dicinta?”

“Apakah engkau lupa, kalau engkau diutus untuk menyatukan pencinta dan sang Kekasih? Bukan untuk menceraiberaikan!”

“Ingatlah, sesungguhnya orang yang terikat sopan-santun itu sama sekali tidak sama dengan orang yang diikat oleh cinta. Orang yang mencinta tidak mengetahui agama kecuali sang Kekasih itu sendiri,” Allah SWT berpesan.

Nabi Musa a.s. mendengarkan setiap kalam Allah SWT yang bernada teguran itu dengan penuh takzim. Beliau barulah menyadari kesalahannya.

Musa kemudian mencari orang yang ditemui di lembah. Nabi Musa a.s. begitu ketakutan dengan apa yang menimpa orang itu. Nabi Musa a.s mencemaskan kalau-kalau di mati bunuh diri karena perasaan bersalahnya. Nabi Musa a.s. ingin meminta maaf atas kelancangan dirinya dan menyampaikan pesan dari Allah SWT. Dan setelah pencarian yang lama, Nabi Musa a.s. berhasil menemukan orang itu. Ketika beliau mendekati orang itu, nabi Musa a.s. pun memohon maaf kepadanya. Orang itu kemudian menegakkan kepalanya memandangi Nabi Musa a.s.

‘Aku punya pesan penting untuk engkau,” kata Nabi Musa a.s. “Allah SWT telah berpesan kepadaku bahwa engkau bebas untuk berbicara apa saja dengan Tuhan-Mu. Tidak perlu lagi ada sopan santun. Engkau boleh berbicara apa saja dengan cara yang engkau sukai.”

Nabi Musa a.s. kemudian mengambil nafas. Laki-laki itu hanya terdiam.

“Dan aku minta maaf karena kebodohanku. Ternyata apa yang aku kira menghujat itu akidah dan cinta adalah yang dapat menyelamatkan dunia,” lanjut Nabi Musa a.s.

Tapi, Nabi Musa a.s. dibuatnya kaget. Kenapa? Orang itu katanya sudah berjanji kepada dirinya tidak akan berkata-kata apa pun.

“Aku telah lampaui tahap kata-kata dan kalimat. Aku tidak ingin mengatakan apa pun. Hatiku ini sudah tercerahkan. Aku tidak bisa mengatakan apa pun tentang perasaan hatiku ini.”

Nabi Musa a.s. hanya bisa terdiam mendengarkan ucapan orang itu. Orang itu kemudian mengambil langkah dan meninggalkan Nabi Musa a.s. pandangan Nabi Musa a.s. terus mengiringi setiap langkahnya hingga sosok orang itu menghilang. 

Penafsiran

Cerita diatas saya kutip dari Buku Seri Teladan Humor Sufistik, Karya Tasirun Sulaiman, Penerbit Erlangga, 2005.

Yang menarik dari cerita diatas betapa seorang nabi seperti Musa yang senantiasa berdialog dengan Tuhan terkadang bisa keliru memahami Bahasa Hati seorang Pecinta Ilahi, bisa salah mengartikan keakraban seorang yang dimabuk rindu dengan Tuhan.

Kalau lah nabi Musa pernah keliru memaknai bahasa cinta para Pecinta Ilahi, bagaimana dengan orang-orang zaman sekarang yang merasa dirinya alim hanya dengan membaca, bukankah akan lebih sulit lagi memaknai bahasa Para Pecinta? Bukankah lebih banyak lagi makian dan cacian yang terlontar dari mulut mereka kepada Para Pecinta? Bukankah akan lebih mudah lagi bagi mereka untuk menuduh Para Pecinta sebagai pembuatan bid’ah dan memberikan stempel “Aliran Sesat” kepada keyakinan mereka?

Terkadang sering kali kita merasa menjadi pembela agama, sehingga harus membentuk sebuah front untuk mengganyang orang-orang yang berseberangan dengan kita dengan dalih membela kebenaran, membela agama, padahal cuma membela kelompoknya, membela dirinya sendiri. Terkadang juga banyak orang merasa menjadi pembela Tuhan, padahal ketika berniat membela Tuhan secara tidak langsung telah melenyapkan sifat Tuhan yang Maha Perkasa dan Maha Akbar dan mendudukkan Tuhan kepada posisi sebagai pesakitan dan tiada berdaya. Alangkah damainya hidup ini kalau kita lebih banyak mengkoreksi diri sendiri dari pada sibuk mencari-cari kesalahan orang lain. Saya jadi teringat kata-kata bijak dari seorang penyair sufi Hamzah Fanshuri, “KEMBALI-LAH MENJADI DIRI, AGAR LEBIH BERARTI”. Salam Damai Selalu.

Sumber: www.sufimuda.net

Selanjutnya...